ALAPPATT dan Gupta (2021) menjelaskan bahwa ketika hukum menjadi measures yang digunakan untuk menciptakan ketakutan dan membungkam suara, maka dapatlah dikatakan bahwa draconian law sudah diberlakukan.
Penerapan hukum acara secara ajeg dan tertib adalah cara untuk menghindari tuduhan dari sikap yang sewenang-wenang atau mengambil draconian law untuk pihak-pihak yang dilakukan secara ‘pilih-petik’. Hukum acara bukanlah hal yang secara serampangan bisa disiasati akan tetapi hukum acara adalah bentuk lain dari pembatasan kewenangan sekaligus menjaga keseimbangan antara wewenang penegak hukum dan hak pihak terperiksa.
Hukum acara juga menjadi pelindung bagi pihak III berkepentingan, semisal dalam perkara tersebut terdapat aset yang adalah harta warisan maka terdapat hak ahli waris lain dalam harta tersebut. Dalam perkara penyitaan lain, misalnya disita alat transportasi yang disewa terduga pelaku, yang mana terhadap alat transportasi terdapat hak pihak III yang juga harus diperlakukan secara berimbang.
Terlebih apabila terdapat alat produksi yang hendak disita harus dipertimbangkan secara masak, bagaimana dampak terhadap produksi, bagaimana dampak terhadap pekerja dalam jalur produksi serta bagaimana dampak secara market jika perusahaan terbuka. Juga bagaimana dampak terhadap kesediaan produk dari sisi makro ekonomi.
Menjadi penegak hukum kini adalah penegak hukum yang cerdas memperhatikan berbagai aspek atas tindakan hukum yang diambil. Terlebih jika tindakan yang diambil terhadap korporasi. Penerapan draconian law termasuk draconian measures sedapat mungkin dihindari, karena dampak yang akan ditimbulkan secara makro ekonomi. Seperti yang ditunjukkan belakangan ini penyidik Kejaksaan Agung terhadap korporasi, pertimbangan secara matang dalam tindakan hukum yang diambil serta memperhatikan penerapan asas nesesitas dan proporsionalitas adalah sikap yang mutlak perlu terus diimplementasikan.
Kerugian perekonomian negara
Ketentuan pidana terkait tindak pidana korupsi (tipikor) masih memuat unsur merugikan perekonomian negara, dalam hal mana unusr ini sejatinya adalah satu nafas dengan kata ‘dapat’, yang kemudian kata ‘dapat’ tersebut dinyatakan inkonstitusional oleh MK sehingga terdapat perubahan norma. Jika dengan masih adanya kata ‘dapat’, perhitungan kerugian negara tidak saja bersifat nyata akan tetapi juga dimungkinkan untuk potensi kerugian negara (potential loss).
Dengan dinyatakannya bahwa kerugiaan negara haruslah dibuktikan dan bersifat factual atau nyata, maka tidak boleh lagi disertakan dalam perhitungan kerugian negara yang bersifat potensial atau potential loss. Lebih jauh dengan begitu maka perhitungan kerugian yang bersifat nyata tersebut hanya dapat dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), karena Mahkamah Agung dalam SEMA No.4/2016 juga menjelaskan bahwa pengadilan seharusnya hanya menerima penghitungan dari BPK terkait kerugian negara.
Seiring dengan inkonstitusionalitas kata ‘dapat’ sebagaimana terdapat dalam Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 24 Juli 2006, maka dari itu unsur merugikan perekonomian negara juga menjadi unsur yang inkonstitusional atau hilang juga. Karena sejatinya untuk menyatakan kerugian terhadap perekonomian negara adalah suatu hal yang bersifat potensi atau potential loss.
Selain itu juga kerugian perekonomian negara adalah suatu hal yang masih absurd, serta sangat sulit untuk menentukan apa yang dimaksud dengan perekonomian negara. Jika dilihat kerugian perekonomian berdasarkan hitung-hitungan secara makro ekonomi, menurut saya hal tersebut adalah suatu perhitungan yang bersifat multi dimensi– interchangeable karena komponen-komponen yang bersifat dinamis.
Non-prosecution mechanism
Memperhatikan berbagai praktik penegakan hukum yang dilakukan aparatur penegak hukum belakangan ini, yang juga terkadang oleh media sosial begitu mudah untuk langsung dikaitkan dengan politik elektoral atau pengaruh kekuasaan. Penegakan hukum itu harus bersifat pasti dan dilakukan sesuai ketentuan hukum bukan disesuaikan dengan ‘selera hukum’ penguasa atau penegak hukum sebagai pemangku kewenangan.
Memperhatikan dan menerapkan hukum acara secara baik dan tertib adalah sangat penting untuk diimplementasikan. Penerapan asas nesesitas dan proporsionalitas dalam penerapan wewenang penegakan hukum juga sangat mutlak, yang mana kedua asas tersebut adalah asas yang bersifat kunci dalam implementasi wewenang penegakan hukum.
Penerapan hukum yang menyeimbangkan antara wewenang penegak hukum dan hak terperiksa ataupun pihak ketiga juga sangat penting untuk terus diterapkan. Terlebih penegakan hukum terhadap korporasi (apalagi perusahaan terbuka/tbk), pertimbangan yang sangat matang atas penyidikan dan penetapan tersangka harus dilakukan, terlebih pertimbangan akan dampak secara makro dan mikro ekonomi.
Dalam hal tersebut meliputi dan tidak terbatas pada produksi terhadap produk kebutuhan masyarakat yang akan berdampak pada harga di masyarakat, bagaimana dampak terhadap inflasi, dampak terhadap perusahan di pasar modal, dampak terhadap tenaga kerja termasuk supplier bahan baku produksi.
Bisa dibayangkan sebegitu kompleksnya pertimbangan yang harus dilakukan untuk menghilangkan kesan diterapkannya draconian law dan draconian measures yang kesemuanya berlawanan dengan prinsip yang dianut konstitusi Republik Indonesia (UUD 1945) yaitu negara berdasarkan atas hukum yang demokratis (democratische rechtstaat).
Untuk terkait korporasi terlebih korporasi produksi bahan pokok akan lebih baik bagi korporasi diambil langkah non-prosecution mechanism. Hal yang mendorong untuk korporasi tersebut memperbaiki governance perusahaan atau program keikutsertaan terhadap kepatuhan persaingan usaha sehat. Ataupun ISO anti-bribery atau langkah-langkah pemulihan atas damage yang terjadi, yang dilakukan secara terstruktur dan targeted yang kesemuanya dituangkan dalam non-prosecution agreement.
Dengan begitu penegakan hukum tidak lagi diarahkan pada upaya pembalasan (retributive) akan tetapi diarahkan pada pemulihan (restorative). Jika merujuk pada trilogi pembangunan masa Orde Baru, stabilitas ekonomi tidak bisa berdiri sendiri karena faktor stablitas keamanan dan politik juga menjadi interdependent variables.
Namun kini faktor kepastian hukum dan daya dukung penegak hukum terhadap ekonomi dan dunia usaha menjadi faktor keempat bagi tumbuh kembang dan stabilnya ekonomi negara. Hal ini juga sebagaimana indeks yang tiap tahun dirilis oleh World Justice Project tentang Rule of Law Index, yang mana indeks imparsialitas penegakan hukum kita hanya 0,28 jauh dari nilai rata-rata global. Bahkan peringkat Indonesia berada di 122 dari 140 negara.
Jika tak ada perbaikan dan tanpa upaya memperbaiki cara hukum bekerja, indeks negara kita tak akan pernah beranjak. Hentikan sikap abai atas due process dan sikap-sikap ‘sok kuasa’ dalam penegakan hukum sehingga kesan penerapan draconian law measures menjadi terkikis. Salam Indonesia hebat nan beradab.
Artikel ini sudah tayang di Media Indonesia.com pada hari Rabu, 02 Agustus 2023 – 00:25 WIB
Judul Artikel : Penerapan Draconian Law dalam Sistem Hukum
Link Artikel : https://mediaindonesia.com/opini/601527/penerapan-draconian-law-dalam-sistem-hukum